Mengenal Konsep Nasionalisme Dari Kata Cinta
Mengenal Konsep Nasionalisme Dari Kata Cinta
Oleh : Muhammad Adam Rosady
“Kenapa kita cinta Indonesia?” ini adalah suatu ungkapan sekaligus pertanyaan yang terlihat konotasinya biasa, tapi menyimpan sejuta makna yang mendalam.
Cinta adalah suatu yang bisa tumbuh kapan dan dimana saja. Mencintai adalah suatu sifat alami yang pasti dimiliki setiap individu. Sejak dari kecil kita sudah diajarkan tentang cinta oleh kedua orang tua, kemudian ketika beranjak dewasa, cinta terhadap tanah air pun muncul, baik memalui perantara guru maupun lingkungan. Nah topik cinta inilah yang akan kita bahas di sini, kenapa kita mencintai Indonesia.
Ada berbagai aneka peribahasa yang dikenal umat di seluruh dunia menggambarkan kecintaanya: Hujan batu di negeri sendiri lebih baik daripada hujan emas di negeri orang (peribahasa Indonesia-penj). Dalam sastra Arab juga dikenal ungkapan cinta pada negeri, seperti yang diungkapkan Abu Tammam pada puisi populernya dalam kitab al-musthoraf fi kulli fanin mustadzorof :
نقلت فؤادك ما شئت من الهوى * ما الحب إلا للحبيب الأول
كم من منزل في الأرض يعشقها الفتى * وحنينه أبدا لأول المنزل
“Kau bisa memindahkan hatimu kepada siapa saja yang kau cintai
Tapi cinta sejati, tak lain kecuali kepada cinta pertama
Di bumi ini ada sekian banyak tempat yang disukai seseorang
Tetapi kerinduan hanya tertuju untuk tumpah darahnya”.
Sedangkan cendekiawan muslim, Prof. Dr. Muhammad Qurais Syihab menuliskan dalam bukunya yang berjudul Islam Yang Saya Pahami, ia menuliskan bahwa, cinta tanah air itu tumbuh dari sifat kewarganegaraan, kemudian beliau menerjemahkan bahwa kewarganegaraan merupakan kasih timbal balik antara warga dengan wilayahnya, yang mana manusia tercipta dari tanah, tanah adalah ibunya, adapun ibu kita adalah tanah pertiwi, maka haruslah seorang anak menyayangi dan mencintai serta mensyukuri ibunya bagaimana pun rupa sang ibu.
Secara global kebanyakan manusia pasti mencintai tanah tumpahnya, meskipun ada segelintir orang yang selalu membanding-bandingkan Indonesia dengan negara lain, lalu berujar “bukankah Indonesia adalah negara yang banyak memberi makan koruptor dan negara yang selalu tajam kebawah dan tumpul ke atas.” kemudian dari kekecewaan ini muncul rasa benci dan hilang rasa cinta pada Indonesia. Memang kita akui bahwa kadang kemerosotan di negeri kita melampaui batas, tapi jangan jadikan itu sebab kita membenci Indonesia. Perhatikan apa yang dikatakan seorang fisuf dan pengamat politik asal Inggris G.K Chesterton mengungkapkan “Right or wrong it is mt country” Benar maupun salah tetap saja itu adalah negeriku. Cinta itulah yang menjadi benih nasionalisme, yakni cinta yang meluruskan kesalahan dan mengubahnya menjadi lebih baik, bukan cinta yang mengkritik dan mengeluh tanpa ada saran yang membangun.
Andaikata mencintai tanah air bukan sesuatu yang penting, maka tidaklah mungkin orang paling mulia di muka bumi berdoa
“Ya Allah, tumbuhkanlah cinta kami kepada Madinah, seperti kami dulu kami mencintai Makkah, bahkan lebih”. Hadis yang dituangkan di dalam hadis shohih Bukhari dan Muslim
اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ.
Doa ini dipanjatkan ketika Nabi Saw berada di Madinah, perhatikan gambaran di atas, bagaimana kuatnya ikatan cinta tanah kelahiran, bahkan ketika mereka merasakan penindasan dan kekejaman selama perpijak di Mekkah, tetapi itu tidak merubah perasaan cinta menjadi hampa. Seperti yang diceritakan dalam buku-buku sirah nabawiyah (Perjalanan hidup Nabi Saw). Pada akhirnya pun Nabi Saw dan para sahabat tetap bercita-cita kembali ke tanah suci untuk membebaskan kota mereka dari kemusyirikan suku Qurais jahiliyah.
Dalam sebuah hadis juga disebutkan ketika Nabi Saw hendak beranjak dari Mekkah melakukan perjalanan menuju Yasrib (Madinah) Nabi bersabda “Sungguh demi Allah wahai Makkah, engkau adalah negeri yang paling kucintai, kalau bukan karena pendudukmu mengusirmu, maka aku tidak akan meninggalkanmu”.
Apa yang diungkapkan di atas melukiskan kepada kita bahwa cinta adalah suatu naluri/fitrah manusia untuk mencintai tanah tumpahnya sendiri. Ia bukan hanya dikenal sejak masa silam, melainkan sudah tertancap di dalam sanubari tiap manusia sejak kehadirannya di muka bumi, coba ingat kembali bagaimana nabiyullah Adam As ketika diturunkan ke bumi untuk dijadikan khalifah (pengganti) memakmurkan ciptaan Allah, perhatikan alur ceritanya dengan teliti, bagaimana kerinduan sang nabi dengan tanah kelahiran (surga).
KH. Abdul Wahab Chasbullah, salah satu tokoh pendiri NU asal Jombang, dalam syairnya yang terkenal seantero Indonesia yang berjudul Ya lal Wathon (wahai negeriku) di sana beliau menyebutkan bahwa mencintai tanah air adalah sebagian dari iman, sebuah ungkapan yang disadur dari suatu riwayat hadis. Jadilah ungkapan ini yang melekat pada para pemuda dan pemudi di zaman dulu mengemban jiwa nasionalis, yang mana dulu lebih dari tiga abad kita dijajah tentara Belada, maka bangkitlah semangat dengan perasaan cinta tanah tumpah.
Indonesia juga adalah negeri yang istimewa karena dapat memersatukan antara ratusan suku serta ethis dan kepercayaan yang berbeda-beda di masyarakat. Seperti konsep persatuan yang dicetuskan Alquran surat al-Hujurat ayat 13
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai manusia! Sungguh, kami telah mencipatakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku untuk saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti."
Kemudian pemikiran persatuan yang dicetuskan Alquran dikembangkan menjadi pilar Indonesia Pancasila pada sila ke-3 (Persatuan Indonesia). Hal ini terbukti dalam sejarah Indonesia, seperti yang diungkapkan seorang tokoh nasionalis kemerdekaan pada acara stasion televisi dalam acara ILC “Bahwa dulu yang memperjuangkan kemerdekaan tanah air, bukan hanya dari satu ethis, tapi dari berbagai elemen, mereka berjuang karena satu tujuan yakni demi Indonesia”. Rasulullah sendiri sebagai sosok pemimpin menegaskan kepada umatnya bahwa membangun persatuan umat beragama itu penting, ahli dzimah (non-muslim yang tidak memberontak) tetap memiliki kebebasan dalam beraktivitas dan bersosial, tanpa ada diskriminasi umat beragama kendati mereka hidup di tanah orang islam. Cerita ini dituliskan syekh Ibrahim al-Qathan dalam buku tafsir taisir al-Qathan, bahwa Rasulullah mengungkapkan
لهم ما لنا و عليهم ما علينا
“Mereka non-muslim juga memiliki hak dan kewajiban peraturan layaknya kita”. Ketika persatuan ini sudah menjadi pilar, maka tidak ada lagi istilah mayoritas ataupun minoritas, karena semua sudah berbaur serta melebur dalam jiwa persatuan. Kita semua satu, bangsa Indonesia.
Bagi kalian yang sering menonton film peperangan maupun perjuangan, pasti sudah mengerti kenapa mereka rela mati berkorban demi sebongkah tanah kelahiran. Ya, faktor cinta, inilah yang membuat kita kenapa selalu merindukan Indonesia, karena di sana ada orang tercinta, baik itu kerabat, sahabat, pasangan maupun berbagai hal yang kita sayangi.
Lebih lagi ketika membicarakan orang yang tersayang, maka yang menjadi objek utamanya adalah bidadari tanpa sayap yang mendidik dan membesarkan serta mendedikasikan seluruh hidupnya untuk asuhannya yang dicinta, siapalagi kalau bukan ibu namanya.
Pernah dalam suatu acara seminar yang diselenggarakan oleh ikatan mahasiswa Indonesia di Mesir, tiba-tiba pemateri melakukan riset dengan menanyakan kepada para hadirin “Sebutkan kenapa kalian merindukan dan mencintai Indonesia” ternyata tanpa disangka, respon jawaban mereka masing-masing kebanyakan tertuju kepada jawaban keluarga (ibu). Tidak bisa dipungkiri bahwa mencintai orang terdekat adalah salah satu pengikat kenapa kita mencintai tanah itu, karena di tanah pijakan itulah kita besar dan mengerti arti kehidupan.
Dalam tulisan yang singkat ini, maka dapat kita menyimpulkan jawaban “Kenapa kita cinta dan rindu tanah air?”. Bahwa itu tidak lepas dari apa yang telah dipaparkan di atas, yakni cinta tanah kelahiran, cinta persatuan dan cinta kelurga. 3 komponen itulah yang menjadi faktor utama tumbuhnya nasionalisme dalam kebangsaan.
Dari paparan tersebut, maka tidaknya salah kalau kita mengatakan kalau cinta tanah air adalah bagian dari ajaran islam yang harus kita pertahankan di dalam jiwa setiap putra bangsa. Indonesia, kami tetap mencintaimu bagaimanapun rupa indah dan burukmu.
Referensi :
• Mushaf Alquran.
• Terjemah Deperteman Agama.
• Kitab al-Jam’u baina shohihain al-Bukhari wa muslim,karya syekh Muhammad bin Futtuh al-Hamidy, makatabah syamilah.
• Kitab tafsir taisir al-Qathan,karya syekh Ibrahim al-Qathany, makatabah syamilah.
• Buku Islam Yang Saya Pahami, karya Prof. Dr. Muhammad Qurais Syihab.
ajib tadz
BalasHapus